Observasi Kehidupan #catatanharian

Sudah lama tak menyapa diri karena tenggelam dalam rutinitas material yang memang tak akan pernah berujung. Tahun demi tahun berjalan seolah menjadi lebih cepat berlalu, setahun rasanya sebulan dan satu bulan rasanya begitu pendek. Tahun ini 2019 aku memulai sebuah cerita baru, aku memulainya dengan kembali pada dunia yang menjadi hal yang dianggap manusia sekitar sebagai sebuah pencapaian duniawi dan buah dari perjalanan. 
Aku memulainya pada tanggal 21 Januari 2019, berada pada satu momen, tempat, dan keadaan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya, aku kira aku tak akan pernah kembali pada saat-saat seperti ini, rasa syukur aku panjatkan dengan sangat kepada satu-satunya Pencipta Agung Allah Subhanahu Wa Taala, aku tidak tahu hal ini akan baik atau tidak bagiku tapi aku yakin akan selalu ada pelajaran dibalik semua ini.

Aku kira semuanya akan semenyeramkan itu, tapi sejauh ini berbeda. Disini aku diterima dengan sangat baik, walaupun aku ada sendirian disini yah walaupun jauh didalam hati "this is what I need, peace and heal" sebuah proses healing yang luar biasa, Allah menempatkanku pada posisi dimana aku belajar banyak tentang kehidupan "berumah tangga" it's a bit strange for me but yeah I think it would be fun if  I observing peoples personal life. Ini berkaitan erat dengan keinginan diri sendiri dimana usiaku yang sudah akan menuju angka 27 tetapi belum juga menikah, dan terkadang bosan dengan pertanyaan "kapan nih nikah?, sama orang mana?" dan lain sebagainya. Karena terlalu jengah terkadang ada pikiran ingin dipercepat pernikahan dan jodohnya, tapi sejalan dengan waktu akhirnya aku tahu kalau fate itu tidak dapat diduga kapan ia akan datang, akhirnya saya sadar kalau saya ingin menikah karena saya siap dan Allah menilai saya juga sudah siap, disaat kami berdua sama-sama selesai dengan diri kita dan siap berbagi lewat sebuah komitmen yang diikat lewat janji pernikahan.

Pernikahan adalah sebuah benda mati, selama ini ada anggapan bahwa kalau sudah menikah semuanya akan "gone so well" tapi saya pikir kita tidak dapat menggantungkan diri pada sebuah ikatan mati, karena pernikahan itu hanya nama tetapi yang hidup didalamnya lebih kompleks dari hanya sekedar buku nikah dan resepsi saja. Mungkin saya terlalu berbelit belih sih dalam menjabarkan apa yang sebenarnya ingin saya ceritakan, disini saya ingin berbagi kisah tentang pelajaran dan realisasi saya tentang kehidupan post marriage.

Sebelumnya saya ingin menceritakan sedikit tentang latar belakang keluarga saya ya, agar sedikit mengerti dengan alasan kenapa saya nyaman walaupun masih dalam keadaan sendiri, tidak galau gara-gara tidak punya pacar or anything you called about love relationship. Saya berasal dari keluarga yang biasa saja secara ekonomi, memiliki ibu dengan latar belakang broken home dan ditinggalkan ayahnya dan tidak tinggal bersama ibu kandungnya, lalu saya memiliki ayah dengan yang memiliki sifat cenderung tidak banyak bicara, tidak ekspresif, seorang olahragawan dan memiliki latar belakang keluarga yang "sibuk" artinya ayah saya ini cukup tidak terurus oleh orangtuanya karena kakek dan nenek saya adalah orang yang jarang berada dirumah untuk mengurus anak jadi bisa dikatakan bahwa hubungan ayah saya dan orangtuanya tidak cukup dekat secara emosional. Saya memiliki adik laki-laki yang berusia 8 tahun lebih muda dari saya. Itulah sekilas tentang latar belakang keluarga kecil saya, kami berempat (Bapak, Ibu, Saya, Adik) memiliki kedekatan emosional yang sangat baik, saya sangat-sangat nyaman dengan keluarga kecil saya, masalalu orangtua saya menjadikan mereka ingin agar hubungan orangtua dan anak-anak menjadi selayaknya sahabat, saling bercanda, saling melindungi, saling menghormati, dan bercerita satu sama lain. Saya adalah sosok extros to intros saya pernah mengalami suatu perubahan besar sifat dari seorang ekstrovert menjadi seorang yang introvert, lompatan itu tanpa sadar terjadi ketika saya menginjak masa-masa SMP ketika itu self esteem saya sangat rendah, anjlok atau terjun bebas, dunno why even I am still wondering why it could happen to me?

Singkat cerita, hal ini yang membawa saya menjadi sosok yang lebih banyak mengamati dan mendengar daripada berbicara, saya menjadi lebih dekat dengan keluarga dan akhirnya saya tidak peduli dengan cinta-cintaan jaman sekolah, atau kisah platonik semacam itu, dari dulu impian saya satu, saya ingin menemukan sebuah kisah cinta seperti yang orangtua saya miliki, sama-sama menjadi yang pertama dan terakhir untuk satu sama lain, melamar saat siap dan serius, tidak melewati proses pacar-pacaran yang memakan waktu dan segalanya. Dengan latar belakang keluarga dan pola asuh yang seperti ini saya jadi memiliki pola pikir bahwa semua keluarga juga sama seperti yang saya miliki, everybody care for each other and no need a phone for calling anyone because we're close, tapi ternyata tidak, aku belajar banyak dari lingkungan sekitar, bahwa budaya setiap keluarga itu berbeda, bahwa pola asuh anak itu berbeda, bahwa cinta dalam pernikahan itu bukan passionate love seperti yang ada dalam film, bahwa setiap kepala dalam keluarga itu berbeda. 

Semakin banyak melihat aku menjadi sedikit sadar bahwa, im not ready yet at least untill I write this post, karena kehidupan pernikahan itu tidak se simpel itu, urusan anak, urusan hati, urusan perut, semuanya menyatu dalam sebuah ikatan mati bernama pernikahan. Menjadi sedikit terobati dan ketika nanti ada yang bertanya kepada saya "kapan /nikah" mungkin akan menjadi tidak terburu lagi dalam menjawabnya, semuanya sudah Allah atur toh? . Jangan pernah deh menikah hanya karena tuntutan sosial, karen toh masyarakat tidak akan membantu kehidupanmu setelah menikah nanti bukan? tunggu saja waktunya, jika sudah waktunya ia akan datang sendiri, fokus perbaiki diri saja. karena kehidupan bukan melulu soal percintaan.

Saya bersyukur bisa melewati banyak hal, bisa belajar banyak lewat semua yang tidak secara langsung terjadi. Menjadi penonton diantara manusia kadang memang membuat bosan tapi itu bekal yang sangat berharga untuk berjuang. 


Intinya I learn alot when in my current situation...





Tasikmalaya, 23 Februari 2019

Komentar