Kembali saya entah ini berkeluh kesah atau apa, yang pasti saya menceritakan apa yang saya rasa, lihat, dan dengar. Sebelumnya saya pernah dua kali menyinggung topik judgement dan labelling ini pada halaman cerita saya ini tetapi dua-duanya memiliki latar cerita yang berbeda.
Sebenarnya apa itu labelling?, saya pertama kali mendengar istilah ini adalah pada saat mata pelajaran sosiologi pada saat saya SMA dulu. Edwin Lemert (1950) memberikan
perbedaan mengenai konsep teori labeling ini, yaitu primary deviance dan
secondary deviance. Primary deviance ditujukan kepada perbuatan
penyimpangan tingkah laku awal. Kelanjutan dari penyimpangan ini berkaitan
dengan reorganisasi psikologis dari pengalaman seseorang karena cap yang dia
terima dari perbuatan yang telah dilakukan. Ketika label negatif diterapkan
begitu umum dan begitu kuat sehingga menjadi bagian dari identitas yang
individual, ini yang kemudian diistilahkan Lemert penyimpangan sekunder. Individu
yang telah mendapatkan cap tersebut sulit melepaskan diri dari cap yang
dimaksud dan cenderung untuk bertingkah laku sesuai dengan label yang diberikan
(mengidentifikasi dirinya sebagai pelaku penyimpangan/penjahat).
Dari teori labelling diatas menjelaskan bahwa sebenarnya labelling pada awalnya dimaksudkan sebagai sanksi sosial bagi pelaku penyimpangan sebagai kontrol sosial dan efek jera, tetapi sejalan dengan waktu lebelling ini telah menjadi kontrol sosial yang justru menimbulkan penyimpangan baru sesuai dengan apa yang disematkan orang kepadanya sebagai tindak pembelaan dan pertahanan diri. Hal ini disebabkan karena kontrol sosial yang tidak berimbang, seperti hanya prasangka seseorang lalu disematkan kepada orang lain dan akhirnya menyebabkan seseorang itu malah membuat tindakan penyimpangan.
Kehidupan sosial masyarakat memang tidak pernah lepas dari hal-hal alamiah dan buatan manusia seperti diferensiasi, stratifikasi, labelling, dan segala macam tingkatan dan pembeda diantara masyarakat itu sendiri. Saya selalu tidak paham dengan konsep-konsep diatas, kenapa masyarakat harus melakukan kotak-kotak antar manusia hanya berdasarkan hal-hal yang tidak perlu. Kaum elite, kaum cendekiawan, kaum agamis, kaum marginal, dan sebagai macamnya. Pantas saja saya selalu mendapat nilai kurang baik pada mata pelajaran sosiologi yang membahas tentang stratifikasi, diferensiasi sosial karena saya memang benar-benat tidak mengerti dan kurang mendukung juga. Bagi saya kehidupan masyarakat harus didasarkan pada norma yang berlaku pada dasarnya norma agama dan ke Tuhan-an karena sejatinya konsep norma agama adalah yang lahir bukan dari dalam diri kita melainkan dibuat oleh Tuhan untuk mengatur kehidupan kita, dan saya tidak menemukan adanya konsep-konsep stratifikasi, labelling, dan teman-temannya disana. Bukankah yang membedakan kita dimata Tuhan hanyalah keimanan kita? dan masalah keimanan itupun tidak dapat kita nilai oleh diri kita, karena kita tidak memiliki otoritas dalam melakukan penilaian terhadap siapapun.
Jadi jika ada orang yang dengan sengaja menjatuhkan penilaian tidak berdasar, hanya berdasar pada praduga apakah dia lebih tahu daripada Dzat yang menciptakan manusia? sombong sekali. Semoga masalah-masalah nonsense seperti ini tidak akan terjadi pada kita semua karena susah sekali bagi saya untuk meredam rasa tidak suka saya terhadap konsep-konsep ini.
Komentar
Posting Komentar